Penyakit rabies tentu sudah tidak asing lagi bagi pendengaran kita, namun mungkin beberapa dari kita belum tahu tentang sejarah dan perkembangan penyakit yang saat ini cukup meresahkan masyarakat, terutama yang berada di daerah yang mempunyai populasi anjing liar cukup banyak. Untuk itu kali ini penulis akan mencoba memberikan tambahan informasi mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan penyakit rabies berikut cara pencegahannya agar penyakit ini tidak semakin menyebar luas.
Apakah itu Rabies?
Rabies merupakan salah satu penyakit zoonosis, yaitu penyakit yang ditularkan dari hewan ke manusia, di mana agen infektifnya berupa virus rabies yang menginfeksi susunan saraf pusat. Rabies yang menginfeksi kucing, anjing, atau kera dapat menular ke manusia melalui kontak dengan kelenjar saliva (air liur) hewan yang terinfeksi.
Sejarah Rabies
Sebelum membahas lebih lanjut mengenai penyakit rabies ini, alangkah baiknya apabila kita mengetahui sedikit tentang sejarah munculnya penyakit ini. Rabies telah dikenal di Babilonia sejak zaman Raja Hammurabi (2300 SM), bahkan ada denda 40 shekel terhadap pemilik anjing apabila anjingnya menggigit seseorang. Inggris pernah tertular rabies sejak tahun 1026. Di samping anjing dan kucing, rabies juga menulari hewan liar rubah (redfox). Berbagai peraturan pernah diberlakukan negeri ini, antara lain Metropolitan Streets Act (1867), Rabies Order (1887), kemudian Act of Parliement (1897). Pemberantasan rabies di Inggris dilakukan dengan: (1) pembunuhan anjing geladak, (2) penggunaan penutup moncong bagi anjing yang keluar rumah, (3) pengurangan populasi rubah, dan (4) pengawasan ketat terhadap lalu lintas anjing dan kucing. Masa karantina enam bulan diterapkan terhadap anjing dan kucing yang akan masuk Inggris. Inggris bebas rabies tahun 1903.
Di Indonesia, rabies diduga telah lama ada, namun laporan resmi ditulis pertama kali oleh Penning di Jawa Barat, tahun 1889. Peraturan tentang rabies telah ada sejak tahun 1926 (Hondsdolsheid Ordonansi Nomor 451 dan 452), diikuti oleh Staatsblad 1928 Nomor 180, SK Bersama Tiga Menteri (Pertanian, Kesehatan, dan Dalam Negeri) tahun 1978, dan Pedoman Khusus dari Menteri Pertanian (1982). Sebelum Perang Dunia II, selain Jawa Barat rabies hanya ditemukan di Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan. Pada 1945-1980,rabies ditemukan di Jawa Tengah dan Jawa Timur (1953), Sulawesi Utara (1956), Sumatera Selatan (1959), Lampung (1969), Jambi dan Yogyakarta (1971), DKI Jaya dan Bengkulu (1972), Kalimantan Timur (1974), Riau (1975), dan Kalimantan Tengah (1978). Hingga 1990-an, provinsi di Indonesia yang masih bebas rabies adalah Bali, NTB, NTT, Maluku, dan Papua. Pemerintah Indonesia telah berupaya keras mengatasi rabies dengan mengadopsi cara-cara dari luar negeri, namun masih banyak kendala yang dihadapi.
Perkembangan Rabies di Dunia
Data WHO menunjukkan, bahwa rabies secara luas tersebar di seluruh dunia, lebih dari 55.000 orang meninggal dunia karena serangan virus mematikan ini. Dan sekitar 95 persennya, kematian di tingkat manusia tinggi di daerah Amerika Latin, Asia dan Afrika. Sekitar 30 % sampai 60 % dari korban adalah anak-anak di bawah usia 15 tahun. Penyebab paling sering dijumpai dari serangan rabies saat ini ditularkan melalui gigitan dari anjing yang terinfeksi rabies.
Perkembangan Rabies di Indonesia
Data di Departemen Kesehatan menunjukkan bahwa setiap tahun terdapat sekitar 12.500 kasus gigitan hewan penular rabies di seluruh Indonesia. Data terakhir pada tahun 2008 menyebutkan, ada 21.245 orang di Tanah Air yang dilaporkan digigit anjing pengidap rabies, 122 diantaranya meninggal dunia. Kasus rabies juga masih tersebar di 24 provinsi, hanya 9 provinsi di Indonesia yang telah terbebas dari kasus yang oleh masyarakat kerap disebut sebagai penyakit anjing gila ini. Sembilan provinsi tersebut adalah Bangka Belitung, Kepulauan Riau, DKI Jakarta, Jawa tengah, Jawa Timur, Yogyakarta, NTB, Papua Barat dan Papua. Penyebab utama rabies di Indonesia 98% disebabkan oleh gigitan anjing dan 2% akibat gigitan hewan lain seperti kucing dan monyet.
Dalam rentang 10 tahun ini tidak pernah didapatkan kejadian kasus rabies menurun, bahkan muncul beberapa daerah Kejadian Luar Biasa (KLB) rabies baru. KLB rabies yang muncul dalam rentang waktu belakangan misalnya pada 2003, KLB rabies di Maluku, Maluku Utara, dan Kalimantan Barat. Akhir 2007, KLB rabies muncul lagi di Banten. Yang terbaru, November 2008 KLB ada di Kabupaten Badung, Bali, dengan 15 kasus lyssa (rabies pada manusia) yang semuanya meninggal dunia. Indonesia sendiri ditargetkan bebas rabies tahun 2015. Dengan terus bertambahnya kasus endemis, target itu makin sulit tercapai. Sesuai syarat lembaga kesehatan dunia, WHO mensyaratkan Indonesia selama dua tahun Indonesia wajib memiliki nol kasus rabies bila ingin dikategorikan negara bebas rabies (Susanto. E. C, 2009).
Pada 18 Desember 2008, Menteri Pertanian melaporkan ke World Organization for Animal Health bahwa telah terjadi peningkatan kasus rabies di Pulau Bali. Rabies terdeteksi pada anjing pada sedikitnya dua desa yang dekat dengan tujuan wisata yang populer di Bali bagian selatan. Hingga pertengahan bulan November 2009 ini telah dilaporkan bahwa serangan penyakit yang dikenal dengan sebutan anjing gila ini telah memakan korban meninggal sebanyak 17 orang sehingga Dinas Kesehatan Propinsi Bali menetapkan Bali sebagai daerah KLB (Kejadian Luar Biasa) rabies.
Penularan Rabies
Penyakit rabies terutama ditularkan melalui gigitan binatang. Kuman yang terdapat dalam air liur binatang ini akan masuk ke aliran darah dan menginfeksi tubuh manusia. Binatang yang sering menderita rabies adalah anjing, kucing, kelelawar dan kera. Selain lewat gigitan, rabies juga dapat ditularkan melalui mata, hidung, mulut dan luka yang terkontaminasi oleh air liur binatang yang terjangkit rabies. Penularan lewat cara ini sangat jarang terjadi, umumnya penularan melalui gigitan.
Sedangkan penularan rabies dari manusia ke manusia sampai saat ini belum ada bukti maupun penelitian yang dapat membuktikannya, meskipun ada teori yang menyatakan bahwa rabies dapat ditularkan dari orang ke orang namun pada kenyataannya tidak dapat dibuktikan.
Masa Inkubasi Penyakit Rabies
Masa inkubasi adalah waktu antara penggigitan sampai timbulnya gejala penyakit . Masa inkubasi penyakit Rabies pada anjing dan kucing kurang lebih 2 minggu (10 hari- 14 hari). Pada manusia 2-3 minggu dan paling lama 1 tahun.
Tahapan Penyakit Rabies
Perjalanan penyakit Rabies pada anjing dan kucing dibagi dalam 3 fase (tahap), yaitu :
1. Fase Prodormal : Hewan mencari tempat dingin dan menyendiri , tetapi dapat menjadi lebih agresif dan nervus, pupil mata meluas dan sikap tubuh kaku (tegang). Fase ini berlangsung selama 1-3 hari . Setelah fase Prodormal dilanjutkan fase Eksitasi atau bias langsung ke fase Paralisa.
2. Fase Eksitasi : Hewan menjadi ganas dan menyerang siapa saja yang ada di sekitarnya dan memakan barang yang aneh-aneh. Selanjutnya mata menjadi keruh dan selalu terbuka dan tubuh gemetaran , selanjutnya masuk ke fase Paralisa.
3. Fase Paralisa: Hewan mengalami kelumpuhan pada semua bagian tubuh dan berakhir dengan kematian.
Gejala Klinis Penyakit Rabies pada Hewan dan Manusia
Pada anjing dan kucing, penyakit Rabies dibedakan menjadi 2 bentuk , yaitu :
1. Rabies bentuk diam (Dumb Rabies), tanda-tandanya adalah sebagai berikut :
- Terjadi kelumpuhan pada seluruh bagian tubuh
- Hewan tidak dapat mengunyah dan menelan makanan, rahang bawah tidak dapat dikatupkan dan air liur menetes berlebihan
- Tidak ada keinginan menyerang atau mengigit. Hewan akan mati dalam beberapa jam.
2. Rabies bentuk ganas (Furious Rabies).
- Hewan menjadi agresif dan tidak lagi mengenal pemiliknya
- Menyerang orang, hewan, dan benda-benda yang bergerak
- Bila berdiri sikapnya kaku, ekor dilipat diantara kedua paha belakangnya
- Anak anjing menjadi lebih lincah dan suka bermain , tetapi akan menggigit bila dipegang dan akan menjadi ganas dalam beberapa jam.
Baik rabies ganas maupun rabies jinak pada akhirnya menyebabkan kelumpuhan total, diikuti koma dan kematian karena hewan mengalami gangguan pernapasan yang akut. Pada hewan yang terinfeksi, jika tidak diberi penanganan sama sekali, hewan akan mati setelah terinfeksi selama 7 hari (Disnak Kabupaten Tangerang, 2009).
Tanda-Tanda Rabies Pada Manusia :
Pada manusia, gejala rabies akan muncul pada waktu 30-50 hari setelah terinfeksi. Gejalanya dimulai dengan demam, linu, depresi mental, kelumpuhan pada tungkai bawah dan menjalar ke seluruh tubuh. Kemudian penderita akan menjadi hiperaktif, mengeluarkan air liur, kejang otot tenggorokan dan otot pita suara yang bisa menyebabkan sakit luar biasa. Kejang otot ini disebabkan oleh adanya gangguan daerah otak yang mengatur proses menelan dan bernafas. Ketika penderita mencoba untuk minum air, maka kejang di daerah tenggorokan dapat terjadi kembali sehingga penderita rabies dapat juga dikatakan takut air (hidrofobia). Selain itu juga peka terhadap cahaya (fotofobia), udara dan suara. Bila kuman rabies sudah menyerang otak maka akan menyebabkan gelisah, kejang, paralisis/kelemahan otot otot, koma dan terakhir kematian (Ulliyani. A, 2009).
Penanganan Pertama Terjadinya Kasus Rabies
Penanganan pertama pada suspek yang baru saja melakukan kontak dengan hewan, menurut rekomendasi World Health Organisation (WHO) adalah dengan cara pembersihan luka dan imunisasi, karena dengan ini dapat mencegah penularan rabies sampai 100 %. Kontak yang dimaksud oleh WHO dikategorikan sebagai berikut :
Kategori I : menyentuh atau memberi makan hewan suspect rabies
Kategori II : luka gores kecil tanpa pendarahan yang disebabkan oleh hewan suspek, atau berupa jilatan hewan suspek pada kulit yang luka
Kategori III : satu atau lebih gigitan, cakaran, jilatan pada kulit yang luka, atau kontak lain yang melukai kulit dan sampai menyebabkan pendarahan.
Penanganan pertama setelah kontak untuk menghindari penularan rabies adalah dengan membersihkan luka dengan cairan disinfektan atau sabun, dan kemudian sesegera mungkin pasien diberi imunisasi anti-rabies. Vaksin anti-rabies diberikan pada pasien yang melakukan kontak kategori II dan kategori III. Sedangkan imunoglobulin anti-rabies atau antibodi harus diberikan pada pasien setelah melakukan kontak kategori III, atau kepada pasien yang memang memiliki kekebalan tubuh lemah.
Pencegahan Rabies
Jadilah pemelihara hewan yang baik dengan :
• Menempatkan hewan peliharaan dalam kandang yang baik dan sesuai dan senantiasa memperhatikan kebersihan kandang dan sekitarnya.
• Menjaga kesehatan hewan peliharaan dengan memberikan makanan yang baik , pemeliharaan yang baik dan melaksanakan Vaksinasi Rabies secara teratur setiap tahun ke Dinas Peternakan atau Dokter Hewan Praktek. Tindakan ini tidak hanya melindungi hewan anda dari penyakit rabies tetapi juga melindungi diri anda sendiri dan keluarga anda.
• Memasang rantai pada leher anjing bila anjing tidak dikandangkan atau sedang diajak berjalan-jalan.
• Selalu awasi binatang peliharaan anda. Kurangi kontak mereka dengan hewan atau binatang liar. Jika binatang peliharaan anda digigit oleh hewan liar, segera ke dokter hewan untuk diperiksa keadaannya.
• Hubungi dinas peternakan setempat bila anda menjumpai ada binatang liar yang mencurigakan di lingkungan tempat tinggal anda.
• Hindari kontak dengan hewan liar yang tidak jelas asal usulnya.
• Nikmati hewan liar seperti rakun, serigala dari tempat yang jauh. Jangan coba coba memberi mereka makan, membelai ataupun memelihara mereka di rumah walaupun kelihatan sangat jinak.
• Cegah kelelawar memasukan rumah atau tempat anda beraktifitas.
• Jika anda bepergian ke daerah yang terjangkit rabies, segeralah ke pusat pelayanan kesehatan terdekat untuk mendapatkan vaksinasi rabies.
Pengendalian Penyakit Rabies
Saat ini, WHO telah mengendalikan penularan rabies dengan melakukan pemberian vaksin ke beberapa negara berkembang, meskipun dalam jumlah yang terbatas.Vaksin immunoglobulin (antibodi) yang direkomendasikan untuk kasus rabies kategori III memiliki harga yang mahal dan diberikan dalam jumlah yang sangat terbatas. Oleh karena itu, WHO memberikan vaksin immunoglobulin rabies yang berasal dari kuda (purified equine immunoglobulin) untuk digunakan sebagai campuran immunoglobulin manusia untuk menutupi kekurangan vaksin di beberapa negara ini.
Vaksinasi rabies pada manusia direkomendasikan kepada para pelancong yang tinggal atau bepergian ke negara endemik rabies selama lebih dari 30 hari. Vaksinasi pra-penularan tidak begitu saja mencegah penularan rabies, namun vaksinasi pra-penularan ini harus diikuti dengan tindakan pasca-penularan, yaitu dengan pemberian vaksin immunoglobulin untuk rabies. Selain para pelancong, vaksin rabies juga direkomendasikan kepada orang-orang yang aktivitasnya beresiko untuk tertular rabies, seperti pemburu, penjaga hutan, pekerja laboratorium, breeder anjing, pekerja pemotongan hewan, dan dokter hewan. Orang-orang yang beresiko ini harus secara rutin melakukan pemeriksaan kesehatan setiap 2 tahun untuk memeriksakan tingkat kekebalan tubuhnya atau untuk mendapatkan vaksin rabies.
Salah satu cara yang paling efektif untuk mencegah penularan rabies adalah dengan melakukan vaksinasi kepada anjing, sebagai agen penular terbesar pada beberapa kasus di beberapa negara sekarang ini. Namun kurangnya kesadaran masyarakat untuk peduli kepada anjing-anjing peliharaannya untuk dilakukan vaksinasi anti-rabies dapat menjadi salah satu penyebab kenapa sampai sekarang serangan virus rabies masih saja dijumpai di Indonesia. Beberapa daerah di Indonesia sampai sekarang masih belum bebas dari terjangkitnya penyakit rabies, bahkan di Bali dianggap sebagai kejadian luar biasa rabies karena untuk pertama kalinya Bali terjangkit wabah rabies. Dalam hal ini, untuk mencegah penularan rabies ke luar pulau Bali pemerintah berupaya dengan menjadikan pulau Bali sebagai kawasan karantina dengan mencegah keluar masuknya anjing, kucing , atau kera keluar masuk pulau, pemusnahan anjing-anjing liar dan pemberian vaksin terhadap anjng-anjing peliharaan agar tidak tertular rabies dan memberikan vaksin anti rabies pada masyarakat. Sampai saat ini telah disediakan sebanyak 300 ribu vaksin untuk anjing di seluruh kabupaten dan akan ditambah sebanyak 60 ribu vaksin per minggu. Namun dengan jumlah vaksin tersebut hanya mencukupi untuk 32 persen populasi anjing, untuk itu pemerintah akan terus menambah jumlah vaksinnya, sehingga menjangkau seluruh populasi anjing di Bali.
Upaya pemerintah provinsi Bali dalam menekan rabies ini juga mendapat berbagai kendala, diantaranya kritik dari LSM yang menentang pemusnahan anjing-anjing liar. Mereka menilai bahwa pemusnahan anjing liar sebagai tindakan biadab. Di sisi lain masyarakat juga banyak yang tidak mau membawa anjingnya untuk divaksin atau mengikat anjingnya di rumah.
Selain Bali, beberapa daerah lain juga banyak yang belum bebas rabies, seperti Aceh, Kepulauan Ende, dan Jawa Barat. Salah satu upaya pemerintah adalah dengan memberikan vaksin anti-rabies (VAR) kepada anjing-anjing jinak maupun liar. Namun, karena keterbatasan jumlah vaksin yang mencapai ke kecamatan-kecamatan serta kurangnya kesadaran masyarakat untuk turut berperan serta membrantas rabies dengan memvaksinkan anjingnya menjadi kendala dalam memberantas rabies di Indonesia.
Jika kita tengok ke negara lain di Asia, seperti Malaysia dan Jepang, vaksinasi anti-rabies pada anjing dilakukan secara berkala, serta dilengkapi dengan booster (pemberian vaksin kedua) terbukti mencegah penularan rabies ke manusia. Pencegahan penularan rabies pada manusia hendaknya merupakan tugas dokter hewan bersama dengan petugas pelayanan kesehatan masyarakat. Upaya pemberantasan rabies yang dilakukan dengan vaksinasi masal pada anjing dilakukan oleh dokter hewan, kemudian harus segera diikuti dengan penanganan kesehatan pada manusia oleh petugas kesehatan. Selain itu peran serta tokoh masyarakat untuk memberikan penjelasan masyarakat tentang pentingnya upaya pencegahan dan penanggulangan rabies juga cukup penting. Bagi orang yang tidak mengerti bahaya rabies akan menganggap enteng penyakit ini, padahal akibatnya sangat serius. Dengan adanya kerja sama yang harmonis antara dokter hewan dan petugas kesehatan dibantu peran serta tokoh adat dan tokoh masyarakat untuk memberikan penjelasan kepada masyarakat sangatlah membantu semakin meluasnya penyakit ini maka diharapkan Indonesia akan terbebas dari penyakit rabies atau penyakit zoonosis apapun, sehingga apa yang menjadi tujuan kita bersama dapat tercapai, yaitu Indonesia sehat. (CT-115)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar